Dalam QS Ar Rum 30:21 Allah berfirman
bahwa tujuan sebuah rumah tangga adalah agar “supaya kamu cenderung dan merasa
tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang (mawaddah wa rahmah)” Inilah salah satu
kriteria dan filosofi rumah tangga yang ideal menurut Islam. Mengapa kriteria
ini penting karena dari situ akan tercipta sebuah keluarga berkualitas. Dan
hanya dari sebuah lingkungan keluarga yang berkualitas akan muncul generasi
yang berkualitas pula yang akan meneruskan tongkat estafet perjuangan
menyebarkan kebaikan dan mencegah keburukan (QS Ali Imran 3:110).
Membina sebuah rumah tangga
yang mawaddah wa rahmah tentu saja
tidak semudah mengatakannya. Hal itu terjadi karena ia melibatkan sedikitnya
dua pihak yaitu suami dan istri. Kalau struktur kejiwaan satu orang saja begitu
kompleks dan rumit, dapat dibayangkan betapa rumitnya kehidupan bersama yang
melibatkan dua manusia. Apalagi kalau ditambah dengan anak-anak. Maka,
dibutuhkan kemampuan untuk mengatasinya. Dalam Islam kemampuan itu bernama iman
dan ilmu yang dengan keduanya akan membuat seseorang memiliki derajat jauh
lebih tinggi daripada yang lain baik di dunia maupun di akhirat (Al Mujadalah
58:11).
Iman dan ilmu merupakan dua
hal yang saling terkait dan berkelindan. Bagi seorang muslim yang mendapat
hidayahNya, iman akan semakin meningkat seiring meningkatnya keilmuan
Sedang motivasi utama dalam mencari ilmu adalah keimanan itu sendiri.
Di sisi lain, ilmu juga
diperlukan untuk meningkatkan kualitas pribadi dalam berinteraksi dengan
kehidupan duniawi. Karena begitu bervariasinya kehidupan di dunia maka
bervariasi pula ilmu yang perlu dipelajari. Dari sini lahirlah puluhan bahkan
ratusan bidang keilmuan sesuai dengan kebutuhan dan ketertarikan umat manusia
untuk mempelajarinya. Banyaknya ragam keilmuan dan terbatasnya waktu dan
kemampuan otak manusia membuat seseorang harus memnentukan ilmu apa saja yang harus
dipilih dan diprioritaskan yaitu (a) berdasarkan ketertarikan naluri atau
kepentingan duniawi; dan (b) berdasarkan kewajiban agamanya. Artinya, apapun
ilmu yang menjadi ketertarikan manusia, seorang muslim tetap diwajibkan untuk
mempelajari ilmu agama minimal yang terkait dengan hal-hal yang diwajibkan
dalam Islam seperti shalat, puasa, zakat, dan haji.
Hidup berumah tangga pada dasarnya tidaklah berbeda dengan
kehidupan sosial yang lain dalam arti kita memiliki kebebasan untuk memilih
mana sosok yang akan dijadikan teman atau sahabat dan mana yang tidak. Begitu
juga dalam memilih calon pasangan. Perbedaannya, dalam berumah tangga kita
mempunyai waktu kebebasan memilih yang terbatas. Begitu kita memutuskan bahwa
si A adalah calon pasangan kita, maka ia (idealnya) akan menjadi pasangan hidup
kita selamanya. Dalam suka maupun duka. Oleh karena itulah, memilih calon
pasangan sangat berbeda dengan memilih teman. Rasulullah dengan tegas
menganjurkan—kendati tidak mewajibkan—agar prioritas utama yang menjadi
kriteria dasar calon pasangan adalah agama (dzat
ad-din) karena hanya orang agamislah yang relatif memiliki resistensi
paling kuat dalam melawan penyakit-penyakit mendasar yang biasa menjadi
penyebab rusaknya tatanan rumah tangga seperti perselingkuhan, kekerasan dalam
rumah tangga (KDRT), ketiadaan tanggung jawab (tidak memberi nafkah lahir dan
batin), dan sejumlah kejahatan syariah yang lain. Kriteria lain dalam memilih
pasangan seperti kecantikan, kekayaan dan keturunan hendaknya tidak menjadi
faktor prioritas dalam memilih pasangan. Setidaknya itulah anjuran dari Nabi.
. Sebagian muslim yang awam wawasan agama
dan sosialnya tidak setuju dengan pernyataan ini. Mereka berpendapat bahwa
kasih sayang, cinta dan mengenal pribadi calon pasangan secara dekat dan
mendalam melalui hubungan “taaruf” (baca, pacaran) adalah sangat penting dilakukan
sebelum perkawinan dilangsungkan supaya tidak salah pilih.
Mereka juga berargumen bahwa memilih calon yang agamis tidak menjamin bahagia
karena tidak sedikit kalangan yang mengerti dan berlatarbelakang agama yang
berkepribadian nyebelin.
Kekurangan dan kelebihan
memang akan selalu ada dalam setiap pilihan termasuk dalam proses
memilih calon pasangan. Namun, bagi seorang muslim yang taat, pilihan itu
jelas: ia harus sesuai dengan
koridor hukum syariah dan tidak bertentangan dengan spirit Islam yang
ideal. Banyak cara yang secara lebih efektif dan efisien dapat dilakukan
untuk memahami karakter calon tanpa harus melakukan khalwat seperti
mengumpulkan informasi dari orang-orang terdekat. Cara ini dianggap justru
lebih efektif dan lebih “aman” serta lebih fokus pada tujuan utamanya yakni
pernikahan itu sendiri. Cara ini yang dipakai Sayyidah Khadijah saat memutuskan
untuk memilih Rasulullah sebagai suaminya.
Anggapan bahwa sosok pribadi yang agamis terkadang ada juga yang
berperilaku menyebalkandan korup adalah benar kalau yang dimaksud dengan wanita
atau pria agamis itu adalah kalangan yang berlatarbelakang santri. Padahal,
santri tidak otomatis individu agamis
Seorang santri yang alim, tinggi ilmu
agamanya, rajin berceramah, aktif memberi khutbah Jum’at secara reguler
di berbagai masjid, jadi pengasuh pesantren, dosen agama, anggota atau ketua
MUI (Majelis Ulama Indonesia) belum tentu pantas mendapat gelar agamis dalam
pengertian hadits Nabi di atas. Hal itu disebabkan karena ketinggian wawasan
keilmuan hanyalah salah satu dari prasyarat menjadi individu agamis.
Bukan satu-satunya. Masih ada dua syarat lagi yang harus dipenuhi yaitu
iman dan akhlakul karimah.
Pribadi Agamis
Seperti disinggung di muka, pribadi agamis tidak otomatis
mengacu pada mereka yang berlatarbelakang pendidikan pesantren atau siapa saja
yang luas wawasan ilmu agamanya. Walaupun itu termasuk salah satu kriteria.
Pribadi agamis adalah pribadi yang memiliki komitmen kuat untuk menjalankan dan
mengamalkan perintah agama secara holistik (kaffah) serta memiliki wawasan
Islam yang relatif baik karena keduanya adalah dua hal yang tak terpisahkan.
Realisasi Islam kaffah berarti ia mengamalkan syariah Islam secara
lahiriah berupa implementasi perintah yang wajib sekaligus mengamalkan spirit
Islam dalam bentuk perilaku yang sesuai dengan standar syariah, nilai universal
dan kearifan lokal. Oleh karena itu, pribadi agamis pastilah sosok individu
yang disayang Allah karena selalu mengikuti perintah dan menjauhi laranganNya;
dan disukai umat manusia karena memiliki fleksibilitas dan sensitifitas yang
tinggi kepada sesama. Inilah manusia dengan pribadi akhlakul karimah, manifestasi akhlak Nabi yang sangat dipuji oleh
Allah (QS Al Qalam 68:4).
Untuk menuju akhlakul karimah yang diridhoi Allah dan disukai
manusia, seorang santri hendaknya tidak hanya puas dengan memahami ilmu agama
yang biasa dipelajari di pesantren seperti tafsir, hadits, fiqih, nahwu sharaf,
dan lain-lain; tetapi ia harus juga banyak belajar ilmu-ilmu yang terkait
dengan hubungan antar manusia (human
relationship), ilmu kepemimpinan (leadership) dan
memahami pentingnya mengamalkan nilai-nilai universal yang dianut oleh seluruh
umat manusia yang berbudi
luhur terlepas dari agama apa yang dianut. Buku Pribadi
Aklakul Karimah dapat dipakai sebagai pengantar untuk memahami akhlak
universal dan etika lokal tersebut.
Dengan demikian, benarlah apa
yang dikatakan Nabi di atas bahwa orang yang memilih pasangan agamis pastilah
akan bahagia. Maka, tidaklah berlebihan kalau saya katakan bahwa kalau ingin
rumah tangga yang sakinah, wamaddah wa
rahmah dunia akhirat resepnya hanya satu: pilihlah pasangan yang
agamis! Maka, Anda akan dapat melalui hidup di dunia dengan kelapangan dada,
ketenangan hati dan kesejukan jiwa yang diberkati Allah dan disenangi alam dan
isinya. Wallahu a’lam bis shawab.
Sumber: Pustaka Al Khoirot
Marsidi ( PAIF Pakisaji
& Wagir )
0 komentar:
Posting Komentar