Buletin III 16-07-2020
Rumah
Tangga Agamis (1): Taat Syariah adalah salah satu tanda paling mendasar apakah
keluarga itu taat agama apa tidak. Taat syariah artinya melaksanakan kewajiban,
melakukan perbuatan halal dan menjauhi larangan yang haram.
Rasulullah
bersabda agar seorang pria memilih calon istri yang agamis, “Agar kalian
beruntung.” Kalau istri agamis dapat membawa keberuntungan dalam rumah tangga,
maka begitu juga dengan suami yang agamis. Secara implisit, hadits ini juga
menjamin bahwa “membina rumah tangga agamis merupakan keharusan untuk mencapai
kebahagiaan sejati.” Apa yang disebut dengan rumah tangga agamis?
Abdul Adzim
Abadi dalam kitab Aunul Ma’bud menafsiri
kata pribadi yang agamis (dzatiddin) sebagai
orang yang menggunakan agama sebagai standar penilaian dalam segala hal. Bukan
berdasarkan pada penilaian duniawi. Membina rumah tangga yang agamis tidak
mudah tapi juga dimungkinkan dan harus secara terus menerus diusahakan oleh
setiap keluarga. Berusaha dengan sungguh-sungguh dan terus menerus untuk
mencapai tujuan itulah yang dimaksud oleh Nabi pada akhir hadits “taribat yadaaka”. Artinya, membina rumah
tangga agamis tidaklah mudah namun harus menjadi tujuan ideal yang harus
diusahakan dengan sungguh-sunggu untuk dicapai oleh setiap muslim.
Salah satu
langkah awal untuk membina rumah tangga agamis adalah dengan taat pada syariah.
Syariah Islam paling mendasar ada dua kategori yaitu perintah dan larangan. Dan
perintah syariah terpenting ada dalam rukun Islam sebagaimana sabda Rasulullah
dalam hadits Umar bin Khattab yang intinya adalah mentaati lima perintah dasar
yang menjadi pilar utama dalam Islam yaitu syahadat, shalat lima waktu, zakat,
puasa Ramadan, dan haji sekali seumur hidup apabila mampu. Sedangkan larangan
syariah yang harus dijauhi adalah perbuatan yang termasuk dalam kategori dosa
besar. Adz-Dzahabi dalam kitab Al-Kabair menyatakan
ada 70 macam dosa besar yang harus dijauhi oleh setiap muslim yang taat. Dari
70 dosa besar tersebut setidaknya ada enam dosa besar yang paling penting yaitu
syirik, membunuh, mencuri, berzina, minum alkohol (minuman keras), dan konsumsi
narkoba.
Sebuah
keluarga yang taat pada syariah sebagaimana disinggung di muka disebut keluarga
yang shaleh.
Kalau Imam
Ghazali dalam kitab Bidayatul Hidayah menyatakan
bahwa seseorang akan dapat istiqamah dalam kesalehannya, apabila dia selektif
dalam memilih teman, maka begitu juga sebuah keluarga akan dapat konsisten
dengan ketaatannya apabila dapat selektif tidak hanya dalam memilih teman tapi
juga memilih tetangga yang baik dan benar. Yang dimaksud dengan tetangga dan
lingkungan yang baik adalah sebagai berikut:
Pertama,
tetangga yang terdidik. Tetangga terdidik memiliki gaya hidup, perilaku
dan wawasan yang baik. Begitu pentingnya hidup di lingkungan orang pintar
sampai Imam Ghazali berkata, “Musuh yang pintar lebih baik daripada teman yang
bodoh.”
Kedua,
tetangga soleh. Jangan bertetangga dengan keluarga yang fasiq yang suka berbuat
dosa besar tanpa henti. Karena berteman dan bertetangga dengan lingkungan
seperti itu akan membuat semangat berbuat amal kebaikan menurun dan perlawanan
terhadap perilaku maksiat akan mengendur. Dalam QS Al-Kahfi 18:28 Allah
berfirman “dan janganlah kamu mengikuti orang yang hatinya telah Kami lalaikan
dari mengingati Kami, serta menuruti hawa nafsunya dan adalah keadaannya itu
melewati batas.”
Ketiga,
jangan bertetangga dengan keluarga yang materialistik dan konsumtif. Islam
menganjurkan untuk bekerja keras dan tidak ada larangan menjadi kaya. Tetapi
Islam melarang gaya hidup yang hedonis yaitu hidup yang bermewah-mewahan, boros
dan memuja harta benda. Hidup dalam lingkungan seperti ini akan mudah tertular
atau minimal tidak akan meningkatkan kesalihan yang dipupuk selama ini.
Dengan niat
dan komitmen yang benar didukung oleh lingkungan teman dan tetangga yang baik
pula maka insyaallah membina rumah tangga yang sholeh dan taat syariah akan
mudah menjadi kenyataan
0 komentar:
Posting Komentar